Jangkar Pagi: Bab 4 - Gema yang Baru
![]() |
Gema yang Baru |
Bab 4 - Gema yang Baru
Matanya tertuju pada sebuah rak di dinding, dipenuhi piala-piala kusam dan foto-foto dari masa lalunya yang liar. Dia mengambil sebuah bingkai, menunjukkan dirinya yang lebih muda, menyeringai angkuh di samping mobil modifikasinya. Pantulan wajahnya di kaca bingkai itu terlihat berbeda—lebih tenang, lebih dewasa, dengan jejak debu konstruksi di pipinya. Senyum angkuh itu terasa seperti milik orang lain.
Di sisi lain kota, Rina tidak sedang menuju rumah. Dia duduk di dalam bus yang melaju, lampu-lampu kota berkelebat di jendela. Wajahnya yang terpantul di kaca tampak tenang, tetapi matanya menyimpan tujuan yang dalam. Dia memegang sebuket bunga lili putih di pangkuannya.
![]() |
foto-foto dari masa lalunya |
"Halo, Ayah," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara desau angin. "Hari ini anginnya kencang sekali. Hampir sama seperti hari itu... Tapi kami baik-baik saja." Dia berhenti sejenak. "Ada anak baru di tim. Sedikit nekat, mengingatkanku pada seseorang." Senyum tipis menyentuh bibirnya. "Tapi kurasa... dia mulai mengerti. Tentang jangkar. Tentang pulang dengan selamat."
Kembali di apartemennya, Kenji mulai membersihkan. Bukan dengan enggan, tetapi dengan niat. Dia menurunkan poster balap mobil yang mencolok dari dindingnya. Sejenak dia ragu, menatap warna-warna cerah dan janji kecepatan. Lalu, dengan mantap, dia melipatnya dengan rapi dan menyimpannya di dalam lemari.
![]() |
Rina berjalan di sepanjang jalan setapak |
Di atas kursi, tergeletak helm kerjanya dan buku panduan keselamatan. Dia mengambil buku itu, sesuatu yang sebelumnya hanya dia anggap sebagai pajangan. Kali ini, dia membukanya dan benar-benar membaca, jari-jarinya menelusuri diagram simpul dan prosedur pemeriksaan. Kata-kata itu bukan lagi sekadar aturan, melainkan gema dari kepercayaan.
Ponselnya di meja bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari Rina. Isinya singkat: "Terima kasih untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik." Kenji menatap layar, membaca kata-kata itu berulang kali. Sebuah senyum kecil yang tulus terbentuk di wajahnya. Pengakuan itu terasa lebih nyata daripada sorakan penonton mana pun.
Dia mengetik balasan: "Sama-sama. Kau juga. Sampai besok." Setelah mengirimnya, dia berjalan ke jendela. Di kejauhan, kerangka gedung pencakar langit yang mereka bangun berdiri kokoh, siluet gelap yang dihiasi lampu-lampu peringatan merah, berkedip seperti bintang buatan manusia. Itu bukan lagi hanya sebuah struktur; itu adalah kanvas mereka.
Saat Rina meninggalkan taman peringatan, ponselnya bergetar. Dia membaca balasan Kenji dan tersenyum. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menatap langit malam. Di suatu tempat di atas sana, bintang-bintang yang sama bersinar di atas Kenji. Gema dari jangkar pagi mereka telah menemukan resonansi baru di keheningan malam, sebuah janji akan hari esok yang akan mereka bangun bersama.